
ADA-fenomena luar biasa yang penulis lihat langsung pada generasi milenial saat menggunakan gadget-nya. Yang ingin penulis soroti adalah, kecenderungan anak terhadap permainan ‘game’ via gadget. Karena jujur, kehadiran gadget yang berikan orang tua mereka tidak digunakan untuk memperlancar aktivitas belajarnya, malah banyak disalah gunakan sebagai media permainan belaka. Atas kasus ini, kehadiran gadget baru berfungsi hedonis, belum substansi sebagai penunjang belajar anak.

Hal yang sama, juga saya lihat di sekolah yang menerapkan pengetatan gadget. Artinya, siswanya tidak diizinkan untuk membawa gadget saat sekolah. Yang penulis lihat juga sama, gadget yang dimiliki masih digunakan untuk aktivitas game. Artinya, memperkenalkan gadget sebagai media belajar belum (bahkan tidak) siswa dapatkan secara komprehensif. Hal itu diperparah pula dengan langkanya guru bahkan sekolah yang mempelopori gadget sebagai media pembelajaran.
Fenomena yang tidak kalah mencekik nadi adalah, realitas yang saya lihat pada tetangga yang memiliki anak kecil. Untuk sekadar menengkan anaknya agar tidak over aktif, chanel youtube menjadi sarana ampuh dan singkat untuk menenangkan anak. Bahkan bisa dibilang, jika anak rewel, youtube menjadi obat mujarab untuk menghentikan tangisan, menghentikan rengekan permintaan, hingga pengalih agar tidak melakukan aktivitas yang mengganggu orang tuanya saat sedang melakukan aktivitas pekerjaan.
Tiga fenomena berbeda ini adalah contoh nyata, bahwa gadget sudah mewabah, menjadi satu-satunya barang istimewa yang dimiliki oleh semua kalangan. Pertanyaannya, bagaimana mengedukasi anak saat memiliki gadget?
Fenomena yang tidak kalah mencekik nadi adalah, realitas yang saya lihat pada tetangga yang memiliki anak kecil. Untuk sekadar menengkan anaknya agar tidak over aktif, chanel youtube menjadi sarana ampuh dan singkat untuk menenangkan anak.
Untuk menjawab hal di atas memang susah. Karena, kepemilikan gadget yang diberikan kepada anak luput untuk mengedukasi bagaimana menggunakan secara tepat guna. Yang jamak justru baru sebatas membelikan atau kado ansich dengan tidak disertai bagaimana mengedukasi agar kaya secara kemanfaatannya. Lalu, apakah orang tua milenial mampu mengedukasi kepemilikan gadget anaknya?
Terhadap hal di atas, orang tua sangat mampu mengedukasi anaknya untuk menggunakan gadget secara tepat guna. Pertama, pemberian pemahaman. Yang saya maksud adalah, sebelum anak dibelikan gadget, anak diajak berdiskusi terkait spesifikasi gadget yang diinginkan. Mau mark apa, kemudian spesifikasi khusus kegunaannya untuk menunjang pembelajaran. Jika hal itu dilakukan, artinya keberadaan gadget yang akan dibeli sudah diperkenalkan untuk menunjang pembelajaran, bukan permainan. Sehingga, upaya pemberian pemahaman ini akan melekat, menjadi dasar bahwa gadget itu sebagai penunjang belajar.
Kedua, upaya pendampingan konten. Ini memberi maksud, mendampingi anak kala menggunakan gadget perlu dilakukan. Terlebih disaat belajar dari rumah di tengah bencana Covid-19 saat ini. Tidak lain agar keterbukaan dalam hal konten yang diakses bisa diketahui oleh orang tua. Jika terjadi penyimpangan, orang tua tidak membiarkannya. Melainkan coba untuk mencari cara bagaimana mengingatkan anak terhadap penggunaan gadget dari sisi isi (conten). Bisa browsing ke internet, membaca koran, majalah, tabloid yang banyak mengulas hal tersebut. Atau coba bertanya kepada guru BK di sekolah. Bahkan bisa juga orang tua bertanya kepada ahli (akademisi) yang konsen terhadap perkembangan anak terhadap berbagai fenomena permasalahan yang dihadapinya generasi zaman now utamanya dalam hal belajar mengajar.
Ketiga, edukasi belajar berbasis gadget. Ini memberi pengertian gadget harus mulai diperkenalkan pelan-pelan sebagai media belajar kepada anak. Adapun pelaksananya adalah sekolah melalui berbagai inovasi pembelajaran berbasis teknologi. Jika sekolah sudah melakukan hal itu, artinya penanaman akan ‘gadget’ sebagai sarana belajar sudah ada. Karena, semakin gadget itu tidak didekatkan dengan siswa, saat mereka diberi kesempatan untuk menggunakannya, maka siswa akan menjadi lost control. Dan selamanya hal itu akan tertanam bahwa gandet bukan sarana untuk pembelajaran melainkan hanya bersenang-senang.
Baru setelah sekolah, keluarga melakukan hal yang sama sebagai tindak lanjut pembelajaran berbasis online. Oleh karena itu, bagi penulis, Covid-19 ini adalah momen tetap memperkenalkan pembelajaran belajar berbasis online, atau dalam jaringan (daring). Sekaligus mempersiapkan pembelajaran berbasis teknologi yang bisa dilakukan oleh semua jenjang pendidikan mulai dasar hingga PT.
- Penulis adalah Pengurus Alumni IPNU Bojonegoro, Mantan Pengurus PC IPNU Bojonegoro, dan Mantan Ketua Umum Remaja Islam Masjid Agung Jawa Tengah.