Oleh : Isdaryanto SH MH, Humas Pengadilan Negeri Bojonegoro, Jawa Timur.
DERU iring-iringan sepeda motor memecah sunyinya hutan jati. Jalanan siang itu cukup terik, jalan cor beton yang baru tuntas pembangunannya masih berselimut debu putih kekuningan yang terhempas disibak roda motor yang dikendarai serombongan anak muda dengan seragam putih abu-abu. Rona wajah ceria terpancar dari muda mudi yang baru mendengar pengumuman kelulusan sekolah.
Rombongan sepeda motor berjumlah sepuluh motor itu sempat terhenti sejenak di gerbang besar. Farid yang berboncengan dengan Yudi berada didepan rombongan, sempat menepi menunggu Ana dan Sita yang tercecer dibelakang. Ana tidak terlalu piawai mengemudikan bebek matic barunya. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan mendekat ke Objek Wisata yang menjadi salah satu icon kebanggaan Bojonegoro.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kayangan Api, ada yang menuliskannya dengan Khayangan Api. Sebuah fenomena alam yang terletak sekira setengah jam perjalanan dari jantung kota Bojonegoro. Api yang dikelilingi bebatuan, tak padam diterpa hujan, siang dan malam. Juga fenomena kolam yang muncul gelembung seperti air mendidih namun airnya tidak panas, yang dijaga oleh pohon besar disebelahnya. Begitu masyhurnya Kayangan Api, sampai pernah salah satu perhelatan olahraga nasional, obornya dinyalakan dengan api yang diambil disini.
Beberapa anak muda yang berangkat beriringan dari Kota, sampai dan memarkir kendaraan masing-masing. Celoteh dan canda tawa masih menghiasi keceriaan mereka. Farid memilih langsung mendekat ke samping area api abadi yang berkobar tertiup angin. Disusul Dwi, Narto dan Yudi ikut berdiri bersebelahan. Windy, Ria dan Winarni langsung menuju kolam air bergelembung, sedangkan Sita, Ana, Heny dan Rofiq menyerbu jajanan pentol bakso disudut deretan pedagang makanan.
Sekira satu jam berlalu, rombongan putih abu-abu itu kemudian berkumpul di sebuah bangunan mirip pendopo tempat istirahat. Farid duduk bersebelahan dengan Sita. Sesekali pemuda kerempeng itu mencuri pandang kepada sosok gadis yang telah menyita perhatiannya, sejak kelas dua SMA. Meski duduk berdekatan, tatapan keduanya menerawang pada deretan pohon jati yang berguguran daunnya, khas kemarau pertengahan tahun. “setelah ini kamu kemana Sit ? “ Farid memecah kebekuan. “Aku tetap disuruh Bapakku kuliah di Surabaya Rid..” jawab Sita lemah.
Kelulusan ini membawa kegembiraan, sekaligus kegundahan bagi Farid dan Sita. Farid, apabila ingin melanjutkan kuliah, dia harus ke Jogja ikut kakak sulungnya, sementara Sita harus ke Surabaya. Farid masih belum bisa membayangkan rasanya berjauhan dengan sosok yang selalu menjadi inspirasi hidupnya. Sita mengambil sesuatu didalam tas, sebuah kalung perak. “Rid, simpan ini ya, rawat baik-baik..” ujar Sita pelan. Farid menerima dan menggenggam kalung itu. “Makasih Sit.. aku berjanji akan kusimpan dan kujaga.. “ jawab Farid. Sita menyembunyikan binar matanya yang berkaca-kaca.
Kini sekumpulan anak muda itu tidak lagi memakai seragam putih abu-abu. Farid sudah di Teknik Sipil UGM, sementara Sita dan Ana di Ekonomi Unair. Rofiq, Heny, dan Windy, lanjut ke Brawijaya Malang, Winarni memilih sastra di UNS Solo. Tapi toh perjalanan nasib tak selalu sama, tak semua bisa lanjut kuliah, Yudi memilih ke Jakarta mengadu nasib, sementara Dwi lebih memilih kuliah di Yellow Campus Unigoro supaya bisa tetap membantu Ibunya mengurus toko kelontong kecilnya. Teman lainnya Narto, Adit, dan Anto karena keadaan memilih bekerja di Bojonegoro, sedangkan Ria memilih cepat menikah dipersunting seorang kepala jawatan.
Farid masih serius mendengar penjelasan dosen muda yang jelita itu, Bu Dewi namanya. Dosen muda yang cantik dan enerjik. Mengampu mata kuliah Ilmu Ukur Tanah, mata kuliah dasar bagi jurusan Teknik Sipil. Kota Jogja, terutama Bulak Sumur dan sekitarnya, betul-betul membuka mata Farid akan luasnya dunia. Diluar aktifitas kuliahnya, disempatkannya ikut kegiatan kampus lainnya. Di Kota Gudeg itu pula, dia banyak bertemu banyak wanita cantik dan luar biasa. Tapi satu wajah tak pernah hilang dari bayang dan lamunannya. Gadis manis dengan wajah khas Bojonegoro kota tempat kelahirannya, sederhana dan penuh perhatian, bernama Sita.
Jama’ah Subuh di Masjid Jogokaryan baru selesai, Farid membonceng Adit ponakannya yang masih kelas lima SD dengan sepeda motor CB antiknya. Putra sulung kakaknya yang selalu menemani Subuhan di Masjid. Sampai di rumah kakaknya yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya di Jogja, Farid langsung menuju kamarnya. Dibuka nya HP Android yang sejak semalam dicas disamping lemari baju. Ada beberapa pesan Whatsapp yang masuk, dari beberapa teman kuliah, juga beberapa WA Group, dan yang membuat dia kaget sudah ada hampir seratus pesan belum terbaca di WA Group alumni SMA nya. Setelah dibuka, ternyata ada berita duka cita dan ucapan bela sungkawa… Innalilahi wa inna ilaihi rojiuun.. telah meninggal dunia rekan kita Sita Maharani karena kecelakaan lalu lintas.
HP dalam genggaman tangan Farid pun lepas, dadanya bak tertusuk sembilu terisak di sudut kamar. Bergegas dia cari kakaknya, meminta izin untuk pulang kembali ke Bojonegoro pagi itu juga. “gimana kuliahmu kalau kamu pulang?..” kata Kak Rezi. “Tugas-tugas kutitip semua ke teman Kak..” Jawab Farid lirih. “Ya sudah, hati-hati di jalan ya..” lanjut Kak Rezi.
Terminal Jogja masih menggeliat pagi itu, beberapa bus antar kota masih terparkir rapi menunggu penumpang. Sepanjang perjalanan Jogja-Bojonegoro hanya lamunan menemani Farid. Beberapa penumpang bergantian duduk disebelahnya, sempat mengajak terlibat dalam obrolan, namun Farid enggan untuk bercerita panjang lebar. Hanya sesekali anggukan dan senyuman tipis dia berikan.
Senja itu tersaput mendung tipis. Seolah langit pun berduka, mencoba ikut menanggung beban duka pemuda kerempeng yang duduk di sebelah pusara dengan tanah basah. Senja itu pula pemakaman umum sunyi, hanya wangi bunga yang tertabur diatas pusara tercium tipis saat angin berhembus. “Sita.. ini aku datang.. “ ucap Farid pelan berbisik. Air mata pun mengalir dari sudut mata Farid. Entah sudah kali keberapa hari itu airmatanya menetes, hingga tinggal pedih perih.
Hingga mentari menjelang bersemayam di pangkuan malam, Farid masih tak hendak beranjak dari Pusara itu. Namun akhirnya langkah gontainya terayun untuk kembali ke rumah. Sampai di rumah, Abah dan Ibu sudah menunggu di teras duduk di balai bambu. “Assalaamualaikum.. seru Farid. Menghambur dia ke pelukan Ibu mencium tangan dan memeluk. “Waalaikum salam..” jawab Abah dan Ibu hampir berbarengan. Abah dan Ibu cukup tahu, bagaimana kedekatan Farid dengan Sita, cukup mafhum bahwa putra mereka yang beranjak dewasa sedang berduka ditinggalkan kekasih hatinya.
Obrolan di rumah malam itu masih seputar meninggalnya Sita karena kecelakaan lalu lintas di Surabaya. Abah dan Ibu cukup banyak mendapat cerita kronologi peristiwanya. Malam itu, Dwi yang masih di Bojonegoro datang bertamu ke rumah Farid. Meski seluruh teman-teman alumni SMA berduka, akan tetapi Dwi tahu, yang paling terpukul hatinya adalah sahabat karibnya ini. “Kamu udah tau kejadiannya Rid?..” kata Dwi. “Abah sama Ibu tadi udah cerita Dwi.. “ jawab Farid. “Udah ke rumah Sita?” Dwi melanjutkan. “Rencanaku besok aja.. “ Farid menjawab sambil pandangannya kosong. Pembicaraan itu terasa kaku tidak seperti biasanya. Dwi mencoba mengalihkan pembicaraan mengenai kuliah dan kegiatan selama di Jogja, namun sepertinya tak juga memecah kebekuan suasana.
Hari berganti, bulan menjadi tahun. Farid melanjutkan kegiatan kuliahnya yang semakin padat dengan tugas-tugas. Di kalangan teman-teman mahasiswanya, Farid dikenal tekun mengerjakan tugas, nilai semesterannya pun cukup mentereng. Sebelum lulus, sudah menjadi Asisten Dosen untuk membantu mengampu beberapa mata kuliah adik tingkatnya. Sampai kemudian lulus dengan predikat Cumlaude dan akhirnya menjadi Dosen di Fakultas Teknik UGM.
Dosen muda yang smart, kekinian, tapi selalu rapi, ramah dan sabar menghadapi mahasiswanya adalah trade mark yang melekat pada Farid Kurniawan Arfianto. Selalu menyempatkan waktu meladeni permintaan konsultasi bagi mahasiswanya yang mengerjakan Tugas Akhir yang dibimbingnya, meski beberapa mahasiswi sebenarnya hanya mencari-cari kesempatan untuk bisa ngobrol dengannya. Saat dia dikerumuni mahasiswi itulah, seorang wanita anggun yang juga dosen di kampus itu memandang cemburu. Ibu Desy, wanita yang sudah setahun ini menaruh hati dan memberi perhatian lebih kepada Farid, meski Farid masih berusaha biasa-biasa saja.
Suasana lebaran tahun ini terasa sepi, setelah wabah Corona menghantam negeri. Tidak banyak yang berkesempatan mudik, kecuali beberapa orang yang memang jauh hari dari lebaran sudah pulang. Termasuk Farid, sejak awal puasa sudah dirumah, karena perkuliahan dilakukan secara daring. Tidak banyak yang bersilaturahmi saling berkunjung, meski di pinggiran kota masyarakat masih banyak yang nekat saling kunjung mengunjungi. Farid berusaha menghubungi teman-teman SMA nya. Banyak sudah yang kehilangan jejak, tak ada kontak yang bisa dihubungi untuk sekedar bertanya kabar.
Farid sedang menyelesaikan makan bersama Abah dan Ibu di sebuah resto di Jalan Gajahmada, ketika ada dua orang berseragam tentara biru muda mendekat ke sebelah meja nya, duduk memesan makanan. Farid memandang salah satunya, rasa rasanya pernah kenal dan tidak asing wajah itu. “kamu Dwi ya..? “ tanya Farid. “Lho.. ini Farid kan?..” Jawab tentara itu. Lalu mereka berpelukan dan saling bertanya kabar. Dwi Sugianto, teman SMA nya, sudah menjadi perwira Angkatan Udara. Selepas kuliah di Fakultas Hukum Unigoro, ternyata dia mengikuti test Sekolah Perwira AU, sekarang sudah berpangkat Letnan Satu.
“Gimana Rid.. sudah menikah kamu?.. tanya Dwi. “Belum Dwi..” jawab Farid. “Dia masih teringat sama almarhumah Sita dek Dwi..” Abah menimpali. “Padahal Ibu sudah meminta dia segera menikah lho..” Ibu ikut nimbrung. “waduhh.. gimana ini pak Dosen, kapan segera dikenalkan calonnya?..” Dwi menambahi. Farid hanya tersenyum tipis.
Obrolan di resto itu semakin seru, dan tema nya selalu kembali ke masalah Farid yang hingga kini masih betah sendiri.
Perlahan Farid memarkir mobil LCGC lansiran terbaru yang selalu setia menemani perjalanannya. Kemudian dia berjalan perlahan menuju pintu masuk bagian dalam. Tempat itu sudah banyak berubah, tersentuh pembangunan dari Pemerintah Daerah. Kini jajaran kios jualan tertata rapi, tersedia mushola, dan lingkungan lebih bersih dari beberapa tahun silam ketika dia dan teman-temannya sesama remaja putih abu-abu bermain disitu. Farid mendekat ke gundukan bebatuan yang diselimuti kobaran Api. Di tangannya tergenggam seuntai kalung perak. Kalung yang pernah dititipkan Sita kepadanya, yang selalu dia rawat dan jaga tanpa seorangpun tahu.
Kini, dia sendiri disini, di Kayangan Api. Tempat dimana belahan hatinya menitipkan janji, yang hingga kini masih ia tepati. Kesendiriannya ditengah riuh rendahnya Jogja, ditengah kesibukan mengajar, ditengah kerumunan wanita cantik yang selalu menghampiri, namun tak jua menggoyahkan kebekuan hati, hingga saat ini. Entah esok nanti.