BOJONEGORO – Kawasan hutan menyumbang angka yang cukup signifikan dalam problematika kemiskinan di Indonesia. Sebanyak 36,7% masyarakat miskin berada di kawasan Hutan. Ironisnya, deforestasi setiap tahun selalu mengalami kenaikan.
Di Jawa Timur misalnya, pada tahun 2019 terjadi penurunan tutupan lahan dari tahun sebelumnya, namun tutupan pada kawasan hutan justru semakin meningkat.
Berdasar data BPS 2020, Kabupaten Bojonegoro, Tuban dan Lamongan merupakan kabupaten yang masuk dalam 10 besar penyumbang angka kemiskinan di Jawa Timur. Kawasan hutan berkontribusi dalam angka kemiskinan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebab, Kabupaten Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan, jika dirata-rata memiliki hutan lebih dari 29% dari luas wilayahnya. Bahkan, Kabupaten Bojonegoro, 42 % wilayahnya adalah kawasan hutan.
Problematika kemiskinan di sekitar hutan beragam penyebabnya. Di antaranya, mayoritas masyarakat sekitar hutan berada pada area miskin dan tidak memiliki pekerjaan tetap yang berkelanjutan.
Dalam mengelola hutan, mereka kesulitan biaya operasional dimana bantuan yang diterima kelompok biasanya hanya sarana produksi dan kapasitas SDM yang kurang.
Meski mereka memiliki pengalaman mengelola hutan, para petani hutan masih kesulitan mengakses permodalan untuk operasional usaha dengan bunga rendah.
Problematika itulah yang diangkat dalam diskusi reboan IDFoS Indonesia dengan mengusung tema Antara Kesejahteraan Masyarakat dan Kelestarian Hutan pada Rabu (24/2/2021) lalu di ruang Serbaguna Rusunawa PCNU Bojonegoro.
Hadir dalam diskusi, secara virtual Deputi II KSP bapak Abetnego Tarigan dan Direktur Eksekutif Nasional Walhi, ibu Nur Hidayati. Selain itu, hadir juga narasumber secara offline, yakni Deden Suhendi, dari Dinas Kehutanan Jawa Timur, dan Joko Sunarto, dari Perum Perhutani Divre Jawa Timur.
Dalam diskusi tersebut, Abetnego mengungkapkan, salah satu penyebab kesenjangan ekonomi di wilayah kawasan hutan adalah karena kurangnya akses.
Dari sisi lain Walhi menyampaikan bahwa konsistensi kebijakan sering terjadi masalah, sehingga perlu disinergikan hubungan relasi dan komunikasi antara negara, perusahaan, dan swasta.
Dalam tanggapan partisipan aktif salah satunya mengungkapkan bahwa permasalahan muncul setelah diterbitkannya izin pengelolaan lingkungan.
Di wilayah ini negara harus hadir dari lintas kementerian, lintas daerah dan lintas organisasi untuk mengawal berlangsungnya pengelolaan hutan tersebut.
Sedangkan Deden Suhendi dari Dinas Kehutanan Jawa Timur menjelaskan bagaimana pengawalan program-program kehutanan yang harus melibatkan berbagai unsur, khususnya para pegiat-pegiat kehutanan untuk menjadi pendamping di masyarakat lokal.
Di sisi lain, Joko Sunarto dari Perum Perhutani Divre Jatim memberi tanggapan bahwa pihaknya sudah melakukan banyak hal dalam mendorong sinergi untuk mewujudkan kesejahtaraan masyarakat dan pelestarian hutan.
“Strategi pengaturan jarak tanam, pola tanam dan jenis tanaman yang didiskusikan juga bersama masyarakat disekitar hutan,” ungkapnya.
Di sesi terakhir, Direktur IDFoS Indonesia, Joko Hadi Purnomo menjelaskan, inti dari diskusi ini adalah nantinya ada tindak lanjut untuk merumuskan model seperti apa yang cocok untuk kelestarian hutan yang mendukung kesejahteraan masyarakat.
“Sinergi tiga unsur yaitu Pemerintah, Masyarakat, dan Swasta menjadi hal yang penting dalam melakukan hal tersebut,” jelasnya.
Sehingga perlu kesepakatan bersama siapa melakukan apa, potensi lokal yang harus di dukung, sumberdaya yang perlu di tingkatkan yang bagaimana dan model bisnis yang seperti apa yang mendukung hal tersebut dengan tupoksi dan diskripsi pekerjaan yang jelas.
Dengan 60 peserta offline dan 49 peserta online, diskusi yang dimoderatori oleh Ahmad Taufiq tersebut mengamanatkan rencana tindak lanjut dengan pembahasan bersama 3 pemangku kepentingan yaitu Pemerintah, Swasta dan masyarakat dengan diskusi secara detil pada setiap sektor wilayah pengelolaan hutan agar ditemukan model pengelolaan hutan yang tepat untuk diaplikasikan. (*)