Kolom  

Partisipasi Masyarakat dalam Memberantas Korupsi

bojonegorotoday.com

KORUPSI sepertinya masih menjadi penyakit yang mengakar di republik ini. Ditengah wabah pandemi Covid 19, saya masih saja membaca berita mengenai korupsi yang terjadi di suatu daerah di Jawa Timur. Daerah itu adalah Kabupaten Bojonegoro. Kejaksaan Negeri Bojonegoro mencium adanya dugaan korupsi yang dilakukan oleh mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar).

Hal ini mencoreng wajah daerah Kabupaten Bojonegoro yang terkenal dengan slogan “pinarak”. Adanya kasus korupsi ini seharusnya menjadi pengingat buat kita masyarakat biasa bahwa Kabupaten Bojonegoro saat ini sedang tidak baik-baik saja. Korupsi yang terjadi saat ini bukan tanpa sebab, dapat diduga selama ini proses pemerintahan di Kabupaten Bojonegoro tidak transparan dan partisipatif.


Minimnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum-oknum pejabat di daerah untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Masyarakat di daerah seharusnya mampu lebih kritis dalam mengawal jalannya pemerintahan di daerah.

Secara hukum, bagaimana cara masyarakat berperan dalam mengawal pemerintahan terutama dalam hal pencegahan dan pemberantasan korupsi sudah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Di dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan Peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam hal ini masyarakat yang melaporkan dugaan adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat di daerah mendapatkan perlindungan hukum oleh aparat penegak hukum setempat dan penghargaan berupa piagam atau premi dari kementerian hukum dan hak asasi manusia. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi masyarakat untuk tidak terlibat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di daerah masing-masing.

Terkait korupsi di daerah, menurut Teguh Kurniawan mengutip de Asis (2006) terdapat lima strategi yang dapat dilakukan yaitu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, penilaian keinginan politik dan titik masuk untuk memulai, mendorong partisipasi masyarakat, mendiagnosa masalah yang ada, serta melakukan reformasi dengan menggunakan pendekatan yang holistik dan komprehensif.

Dari penjelasan di atas, partisipasi masyarakat dalam pengawalan pemerintahan di suatu daerah menjadi sangat penting karena sejatinya pemerintah hanya menjalankan mandat dari masyarakat. Masyarakatlah sang pemegang mandat tersebut yang mempunyai otoritas bagaimana uang pajaknya yang berbentuk APBD untuk digunakan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Masyarakat jangan apatis karena apatis hanya akan memperparah ketimpangan ekonomi yang terjadi. Apatis hanya membuat oknum-oknum pejabat semakin tersenyum dan nyaman dalam melakukan korupsi di daerah. Di dalam tulisan ini, penulis menyarankan kepada masyarakat Bojonegoro untuk membuat organisasi yang bergerak dalam bidang pengawasan APBD.

APBD Kabupaten Bojonegoro harus dikritisi oleh masyarakat Bojonegoro jangan sampai ada anggaran siluman yang ternyata besarannya tidak sesuai dengan dampak yang dirasakan oleh masyarakat.

Di titik ini penting sekali pengawalan anggaran oleh masyarakat melalui organisasi yang bergerak di bidang pengawasan APBD. Untuk menutup tulisan ini, penulis ingin menekankan bahwa keberlanjutan demokrasi ditentukan oleh dua hal yaitu emansipasi dan partisipasi.

Tanpa emansipasi dan partisipasi demokrasi hanya akan menjadi tirani mayoritas dan penyalahgunaan kekuasaan akan terjadi di mana-mana. (*)

Penulis : Adi Soeryo, Pengamat dan Pegiat Literasi asal Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *