Di tahun 1945 para pendiri negara ini sedang berdebat atas dasar apa republik ini dibangun. Mendirikan negara Republik Indonesia bukanlah perkara yang mudah. Secara internal, negara yang akan didirikan ini terdiri dari banyak suku dan bangsa. Tidak mungkin mendirikan suatu negara hanya didasarkan pada nilai (value) dari satu suku saja. Hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagaimana membangun suatu ketahanan negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Secara eksternal, kondisi politik pada saat itu sedang tidak menentu. Hal ini menimbulkan kebimbangan dari para pendiri bangsa apakah ketika negara ini berdiri dan memproklamasikan kemerdekaannya, kemerdekaannya akan bertahan lama atau cuman sesaat? Oleh sebab itu, perdebatan yang dilakukan oleh para pendiri bangsa mengenai dasar berdirinya negara Indonesia sejatinya mempunyai kedudukan yang fundamental. Tanpa ada perdebatan ini, mungkin negara Republik Indonesia sampai saat ini hanya mimpi belaka.
Perdebatan mengenai Pancasila diwarnai dengan polarisasi antara kaum nasionalis sekuler dengan nasionalis islam. Titik tengah antara dua kubu ini akhirnya menghasilkan piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang akhirnya diubah lagi pada tanggal 18 Agustus 1945. Sampai saat ini Pancasila yang sejatinya kita jadikan ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila 18 Agustus 1945. Dijadikannya Pancasila sebagai weltanschauung atau Philosophische grondslag negara Republik Indonesia menjadikan negara Republik Indonesia sebagai bangsa yang terbuka sekaligus ekslusif di tengah pergaulan internasional bangsa-bangsa dunia. Terbuka karena Pancasila merupakan kumpulan nilai-nilai kemajuan yang saat itu mendorong dunia untuk menjadi lebih baik. Dalam pidatonya di depan kongres Amerika Serikat bahwa Pancasila terdiri dari lima pilar yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Believe in God, Humanism, Nationalism, Democracy, and Social Justice. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai peradaban yang menjadi inspirasi bagi negara-negara yang ingin memperjuangkan kemerdekaannya pada saat itu. Di sisi yang lain, dengan menjadikan Pancasila sebagai ideologi, negara Republik Indonesia mengkokohkan kedudukannya sebagai negara yang mempunyai ideologi tersendiri yang bukan liberalisme ataupun marxisme.
Pancasila dan dua kata adil di dalamnya
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Apabila dianalisis secara gramatikal dan semiotikal, ada 2 kata “adil” yang terdapat di dalam sila Pancasila. Pertama, Kemanusiaan yang adil dan beradab di dalam sila kedua dan kedua, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di dalam sila kelima. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa para pendiri bangsa ingin mendirikan suatu bangsa yang mengedepankan nilai-nilai keadilan sebagai nilai yang utama. Namun, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keadilan tidak cukup hanya menjadi sebuah nilai dan konsep yang abstrak. Keadilan harus diwujudkan dalam sebuah institusi-institusi negara dan salah satu institusi negara yang berperan dalam mewujudkan keadilan adalah institusi kekuasaan kehakiman. Pada prinsipnya, institusi kekuasaan kehakiman lahir dari pemikiran bahwa dalam mengadili masyarakat penguasa tidak boleh berlaku zalim dan harus mengedepankan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Secara filosofis, Kekuasaan Kehakiman harus ditempatkan sebagai the guardian of human rights yang mana dalam menjalankan kekuasaannya yang harus dijadikan acuan adalah perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia bukan kepentingan rezim penguasa atau sebagian golongan yang berpengaruh yang lebih dikenal dengan oligarki. Oleh sebab itu, di dalam kekuasaan kehakiman dikenal prinsip Bangalore (Bangalore Principal) yang terdiri dari independensi, ketidakberpihakan (imparsial), integritas, kepantasan, sopan santun, kesetaraan, kecakapan, dan keseksamaan. Prinsip-prinsip ini bertujuan agar kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugas dan perannya tidak melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Di Indonesia, prinsip Bangalore (Bangalore Principal) diadopsi ke dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang Dasar 1945
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, penggunaan kata “Kekuasaan” hanya digunakan di dalam BAB III yaitu Kekuasaan Pemerintahan Negara dan BAB IX yaitu Kekuasaan Kehakiman. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang terpisah dari dinamika politik kenegaraan. Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang independen yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun dan apapun. Sebagaimana yang termaktub di dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 bahwa Kekuasan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh sebab itu, institusi kekuasaan kehakiman menjadi pilar yang penting dalam menjaga eksistensi nilai keadilan di dalam suatu negara. Kekuasaan Kehakiman yang koruptif hanya akan membuat nilai keadilan di dalam suatu negara menjadi keropos sehingga masyarakat akan terzalimi oleh perilaku penguasa yang sewenang-wenang. Kekuasaan Kehakiman harus menjadi institusi negara yang paling terdepan dalam menjaga keadilan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Pancasila di dalam sila kedua dan keempat.
Pancasila sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) memberikan arti bahwa segala hukum yang berlaku di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Tidak terkecuali Kekuasaan Kehakiman. Oleh sebab itu, suatu putusan hakim secara filosofis tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan hakim harus mencerminkan nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Agar nilai-nilai tersebut tercermin dalam putusan hakim, maka kemandirian dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat wajib apabila ketiga hal tersebut ingin tercapai. Kemandirian dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman secara teoritis dapat dibagi menjadi 3 yaitu kemandirian dan kemerdekaan dalam hal struktur, fungsi, dan anggaran. Dalam hal struktur, kekuasaan kehakiman harus menjadi institusi negara yang independen dan tidak dapat dintervensi oleh siapapun dan apapun. Presiden sebagai kepala eksekutif suatu negara tidak berhak mengintervensi institusi kekuasaan kehakiman. Intervensi politik ke dalam institusi kekuasaan kehakiman hanya akan menjadikan salah satu pilar negara menjadi rubuh yang mengakibatkan penegakan hukum menjadi tidak adil dan diskriminatif. Dalam hal fungsi, hakim sebagai garda terdepan suatu institusi kekuasaan kehakiman harus mampu menjadi pribadi yang luhur dan berwibawa. Bijaksana dalam menyelesaikan suatu sengketa dan berperilaku adil bahkan sejak dalam pikirannya. Dalam hal anggaran, negara harus menjamin bahwa anggaran untuk institusi kekuasaan kehakiman selalu tercukupi. Anggaran untuk institusi kekuasaan kehakiman tidak boleh dipotong tanpa sebab yang jelas. Permasalahan anggaran secara tidak langsung bisa mempengaruhi independensi institusi kekuasaan kehakiman. Bahkan, pernah ada hakim yang menggugat undang-undang keuangan negara ke Mahkamah Konstitusi.
Kemandirian dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman sejatinya harus ditegakkan secara komperhensif dan konsekuen. Hal ini penting dan fundamental untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang humanis dan berkeadilan sosial. (*)
Penulis : Catur Alfath Satriya, Hakim Pengadilan Negeri Mandailing Natal